Hasil Rapat Dpr Putusan Mk

Beda Syarat Usia Versi MK Vs DPR

Polemik kapan syarat usia calon kepala daerah dihitung ini terjadi gara-gara MA mengubah Pasal 4 ayat 1 huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020. MA mengubah PKPU yang awalnya mengatur syarat usia calon kepala daerah dihitung saat penetapan paslon menjadi dihitung saat pelantikan calon terpilih.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

MA tidak mengubah syarat usia pasal dalam Undang-Undang Pilkada, karena pengujian pasal dalam undang-undang bukan kewenangan MA. MA hanya mengubah aturan teknis yang dibuat KPU untuk proses pendaftaran calon.

Persoalan kapan syarat usia ini dihitung kemudian digugat ke MK. Salah satunya diajukan oleh mahasiswa bernama Fahrur Rozi dan Anthony Lee.

MK kemudian membacakan putusan untuk perkara nomor 70/PUU-XXI/2024 dalam persidangan di Gedung MK, Selasa (20/8). Kedua pemohon itu menggugat pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 tentang Pilkada. Berikut isinya:

e. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota

Mereka meminta MK mengubah pasal itu menjadi:

e. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon

MK menolak menambahkan frasa seperti yang diminta pemohon. Menurut MK, pasal tersebut sudah jelas dan tidak perlu ada tambahan frasa apapun.

Dalam pertimbangannya, MK mengatakan selama ini syarat usia calon kepala daerah selalu dihitung dan harus terpenuhi saat penetapan pasangan calon kepala daerah. MK mengatakan praktik itu sudah dilakukan sejak Pilkada 2017, 2018, hingga 2020.

MK menegaskan KPU harus mengikuti pertimbangan MK bahwa syarat usia dihitung saat penetapan pasangan calon. MK menegaskan pasangan calon kepala daerah yang tidak memenuhi syarat usia saat penetapan pasangan calon bisa dinyatakan tidak sah saat ada sengketa hasil Pilkada di MK.

"Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempertimbangkan secara utuh dan komprehensif berdasarkan pada pendekatan historis, sistematis dan praktik selama ini, dan perbandingan, pasal 7 ayat 2 huruf e UU 10/2016 merupakan norma yang sudah jelas, terang-benderang, bak basuluh matohari, cheto welo-welo, sehingga terhadapnya tidak dapat dan tidak perlu diberikan atau ditambahkan makna lain atau berbeda selain dari yang dipertimbangkan dalam putusan a quo, yaitu persyaratan dimaksud harus dipenuhi pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon," ucap Saldi Isra.

Namun, DPR punya pendapat berbeda. Kapan syarat usia calon kepala daerah dihitung menjadi perdebatan di Rapat Panja DPR RI pada Rabu (21/8/2024). Para wakil rakyat ini mempertanyakan pasal revisi UU Pilkada akan mengikuti putusan MA terhadap PKPU atau putusan MK terhadap UU Pilkada.

Satu persatu anggota menyampaikan pendapatnya. Singkat cerita, rapat ini menyetujui perhitungan syarat usia mengikuti putusan MA terhadap PKPU. Hal itu diputuskan usai mayoritas fraksi di DPR menyetujuinya.

PDIP pun sempat protes. Namun, pimpinan rapat Achmad Baidowi ()Awiek mengatakan jika mayoritas fraksi sepakat untuk merujuk terhadap Putusan MA mengenai syarat batas usia itu.

"Merujuk ke MA, mayoritas (setuju), keliahtan pada setuju (ke putusan MA)," katanya.

Berikut isi pasal terkait syarat usia berdasarkan rapat Baleg:

Berusia paling rendah 30 tahun untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur serta 25 untuk Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, dan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih

Beda soal Syarat Parpol Usung Calon Kepala Daerah

Perbedaan juga terjadi antara putusan MK dengan hasil rapat di Baleg DPR. MK awalnya membacakan putusan yang mengubah syarat bagi partai politik untuk mengusung calon kepala daerah. Kini, partai peserta pemilu dapat mengusung calon kepala daerah meski tidak memiliki kursi di DPRD.

Perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 itu diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora. Pasal yang digugat oleh Buruh dan Gelora itu ialah Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada. MK menyatakan pasal 40 ayat (3) itu tidak sesuai dengan UUD 1945.

MK juga menyebut pasal 40 ayat (1) UU Pilkada harus diubah karena masih terkait dengan pasal 40 ayat (3). Perubahan pasal itu membuat partai pemilik kursi DPRD ataupun tak punya kursi DPRD bisa mengusung calon kepala daerah dengan persentase berjenjang.

Berikut perubahan pasal 40 ayat (1) UU Pilkada berdasarkan amar putusan MK:

Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:

a. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% di provinsi tersebut

b. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2 juta jiwa sampai 6 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% di provinsi tersebut

c. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6 juta jiwa sampai 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% di provinsi tersebut

d. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% di provinsi tersebut

Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Hasil rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tentang pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada berpotensi memupuskan kans Anies Baswedan maju dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Rapat itu menghasilkan keputusan bahwa RUU Pilkada hanya bakal mengakomodasi sebagian putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Karena kewenangan DPR itu membuat norma baru. Dalam setiap putusan MK itu DPR boleh membuat norma baru," kata Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi alias Awiek usai memimpin rapat, Rabu (21/8/2024).

Putusan MK yang sebelumnya memungkinkan Anies untuk maju jika diusung PDIP, kini berpotensi tidak berlaku. Pembahasan di Baleg DPR kemarin itu rencananya akan disahkan pada rapat paripurna DPR RI hari, Kamis (22/8/2024).

Adapun saat ini khusus di Jakarta, PDIP menjadi satu satunya partai politik yang tidak memiliki rekan koalisi. Pasalnya berbagai partai politik lainnya tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju, telah mengusung pasangan Ridwan Kamil dan Suswono di Pilkada Jakarta. Namun pada Selasa (20/8/2024), MK mengeluarkan putusan terbaru soal syarat ambang batas pencalonan yang memungkinkan PDIP untuk mengusung calonnya sendiri tanpa berkoalisi.

Sehingga putusan itu sempat menjadi angin segar bagi PDIP maupun Anies Baswedan. Sedangkan pada Rabu ini, Baleg DPR RI menggulirkan kembali RUU PIlkada yang disebut-sebut berpotensi mengoreksi putusan MK itu. Kemudian hasil rapat Baleg DPR RI tersebut kembali mengharuskan PDIP mencari rekan koalisi karena syarat ambang batas pencalonan harus memiliki 20 persen kursi di parlemen atau DPRD Jakarta.

Awiek pun mengatakan, dengan disahkannya RUU Pilkada menjadi undang-undang, nantinya aturan yang akan berlaku pada Pilkada adalah undang-undang yang baru tersebut. Sehingga putusan MK pun tidak akan berlaku lagi pada Pilkada mendatang.

"Jadi ketika besok diparipurnakan, disahkan, kemudian Presiden mengundangkan, maka undang-undang itu sah berlaku," kata Anggota DPR RI Fraksi Partai Persatuan Pembangunan itu.

Dua pasal krusial di RUU Pilkada.. baca di halaman selanjutnya.

Dapatkan Berita Terkini khusus untuk anda dengan mengaktifkan notifikasi Antaranews.com

TEMPO.CO, Jakarta - Badan Legislasi atau Baleg DPR menggelar rapat untuk membahas Rancangan Undang-Undang atau RUU Pilkada pada Rabu, 21 Agustus 2024. Agenda tersebut diadakan satu hari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan terkait UU Pilkada, di antaranya memutuskan penurunan ambang batas pencalonan kepala daerah dan soal batas usia calon kandidat di Pilkada.

Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi atau Awiek memimpin rapat tersebut. Rapat itu dimulai sekitar 10.12 WIB di ruang rapat Baleg, kompleks parlemen Senayan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Awiek mengatakan rapat kali ini dihadiri 28 orang dari seluruh fraksi yang ada di DPR. “Sesuai dengan laporan sekretariat rapat ini telah dihadiri oleh 28 orang anggota dari 80 anggota dari 9 fraksi lengkap. Bahkan ini tergolong rapat paling ramai,” kata Awiek pada permulaan rapat.

Awiek berujar rapat tersebut adalah pembahasan tingkat I yang dibutuhkan sebelum pengambilan keputusan. Pembahasan tingkat I adalah rapat-rapat yang berlangsung di komisi atau alat kelengkapan dewan yang ada di DPR sebelum pembahasan tingkat II di rapat paripurna.

“Dalam rangka pembahasan tingkat 1 atas RUU tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota menjadi UU atau RUU Pilkada,” ucap Awiek.

Awiek menyampaikan rapat kali ini juga akan membahas putusan MK terkait syarat pencalonan kepala daerah. Namun, kata dia, Baleg akan terlebih dahulu membahas Daftar Inventaris Masalah atau DIM RUU Pilkada yang sebelumnya sudah ada di Baleg DPR.

Baleg mengagendakan pembahasan RUU Pilkada hanya satu hari setelah putusan MK. Putusan tersebut disidangkan pada Senin kemarin, 20 Agustus 2024.

Dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, MK mengabulkan sebagian gugatan dari Partai Buruh dan Partai Gelora soal UU Pilkada. Dalam putusannya, MK menyebut partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah walaupun tidak memiliki kursi di DPRD.

MK memutuskan ambang batas Pilkada akan ditentukan perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik yang dikaitkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 di masing-masing daerah. Ada empat klasifikasi besaran suara sah yang ditetapkan MK, yaitu; 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen dan 6,5 persen, sesuai dengan besaran DPT di daerah terkait.

Selain itu, MK juga memutus Perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian syarat batas usia calon kepala daerah yang diatur Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada. MK menolak permohonan dari dua mahasiswa, Fahrur Rozi dan Anthony Lee, yang meminta MK mengembalikan tafsir syarat usia calon kepala daerah sebelum adanya putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024.

Putusan MA yang dikeluarkan pada 29 Mei 2024 itu mengubah syarat usia calon kepala daerah menjadi saat pelantikan calon terpilih. Sebelumnya, syarat tersebut berlaku saat penetapan calon oleh KPU.

Meski menolak permohonan dari Fahrur dan Anthony, MK sepakat bahwa setiap persyaratan calon kepala daerah, termasuk soal batas usia, harus dipenuhi sebelum penetapan calon oleh KPU. “Semua syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU 10/2016 harus dipastikan telah terpenuhi sebelum penyelenggara, in casu KPU, menetapkan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah,” kata hakim konstitusi Saldi Isra di ruang sidang MK, Jakarta, Selasa, 20 Agustus 2024.

TEMPO.CO, Jakarta - Badan Legislasi atau Baleg DPR akan menggelar rapat seusai Mahkamah Konstitusi (MK) menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah. MK sebelumnya menurunkan ketentuan ambang batas Pilkada melalui putusan nomor 60/PUU-XXII/2024.

Seorang sumber Tempo menyebut rapat Baleg DPR itu ditengarai akan menganulir putusan MK. Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta, mengatakan tidak ada lagi norma hukum lain yang bisa menentang putusan MK.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Putusan MK, kata dia, merupakan hasil koreksi tehadap perundang-undangan. Dia mengatakan putusan MK sifatnya mengikat dan final. Sehingga, putusan itu harus menjadi acuan semua pihak.

"Bila ada Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) dan UU baru itu sama saja melakukan perlawanan hukum terhadap putusan MK," kata Kaka saat dihubungi, Selasa 20 Agustus 2024.

Menurut Kaka, Perppu sekalipun tidak bisa menganulir putusan MK. Penerbitan Perppu juga tak bisa dilakukan karena tak memenuhi syarat yakni tak ada keadaan mendesak.

Kaka meminta, semua pihak seharusnya mematuhi putusan MK. Pemerintah dan partai politik di parlemen, kata dia, jangan sampai melakukan tindakan melawan konstitusi. "Kalau dilakukan akan terjadi lagi ancaman terhadap demokrasi," kata Kaka.

Dosen hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah Castro, mengatakan, putusan MK final dan mengikat. Tidak ada upaya hukum lain untuk melawan putusan itu.

"Bila DPR dan pemerintah mengubah UU tanpa berpatokan putusan MK ini, jelas ini pembangkangan hukum," kata Herdiansyah saat dihubungi.

Baleg DPR dijadwalkan akan mengebut pembahasan RUU Pilkada besok. Pada pukul 13.00 WIB, Baleg mengagendakan rapat Panitia Kerja atau Panja Pembahasan RUU Pilkada. Pembahasan mereka kemudian dilanjut rapat pengambilan keputusan dengan pemerintah dan DPD pada pukul 19.00 WIB.

Anggota Baleg DPR, Firman Soebagyo, membenarkan agenda itu. “Betul, besok pagi,” kata Firman melalui pesan singkat pada Senin, 20 Agustus 2024. Baleg DPR akan membahas aturan ambang batas tersebut pada Rabu besok, 21 Agustus 2024 mulai pukul 10.00 WIB.

Seorang sumber Tempo menyebut rapat Baleg DPR ditengarai akan menganulir putusan MK. Ada dua skenario yang disebut sedang disiapkan di Baleg DPR. Pertama, rencana untuk mengembalikan aturan ambang batas Pilkada yang lama, yaitu minimal perolehan 20 persen kursi DPRD untuk pengusungan calon. Kedua, untuk memberlakukan putusan MK tersebut di Pilkada 2029.

Seorang sumber Tempo menyebut pengembalian aturan ambang batas 20 persen kursi DPRD akan diajukan melalui pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu yang mengatur Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau RUU Pilkada. Beleid tersebut bakal merevisi UU Pilkada yang ada saat ini.

Salah satu poin yang akan dikembalikan adalah aturan tentang calon yang diusung partai politik. Ada tambahan pasal dalam RUU Pilkada, yaitu Pasal 201B. Pasal tersebut mengatur bahwa pencalonan kepala daerah harus memperhatikan ketentuan ambang batas yang ada di Pasal 40 UU Pilkada.

“Syarat pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang diusung oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam pelaksanaan pemungutan suara serentak nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (8) didasarkan pada hasil pemilihan umum tahun 2024 yang ditetapkan oleh KPU dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam Pasal 40,” bunyi pasal 201B dalam draf RUU Pilkada.

Dalam Pasal 40 UU Pilkada, terdapat aturan ambang batas Pilkada yang lama, yaitu perolehan 20 persen kursi DPRD atau 25 persen akumulasi perolehan suara sah Pileg DPRD di daerah terkait.

“Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit dua puluh persen dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau dua puluh lima persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan,” seperti tertuang dalam pasal tersebut.

RUU tersebut, jika disahkan DPR, akan menganulir putusan MK yang mengubah aturan ambang batas Pilkada. Baleg mengagendakan pembahasan RUU Pilkada hanya satu hari setelah putusan MK yang disidangkan pada hari ini, Senin, 20 Agustus 2024.

Dalam putusan tersebut, MK mengabulkan sebagian gugatan dari Partai Buruh dan Partai Gelora soal UU Pilkada. Dalam putusannya, MK menyebut partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah walaupun tidak memiliki kursi di DPRD.

Ketua MK, Suhartoyo memutuskan ambang batas pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik hasil Pileg DPRD atau 20 persen kursi DPRD. "Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata dia dalam sidang putusan perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta Pusat pada Selasa, 20 Agustus 2024.

MK memutuskan ambang batas Pilkada akan ditentukan perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik yang dikaitkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 di masing-masing daerah. Ada empat klasifikasi besaran suara sah yang ditetapkan MK, yaitu; 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen dan 6,5 persen, sesuai dengan besaran DPT di daerah terkait.

Sultan Abdurrahman dan Eka Yudha berkonstribusi dalam tulisan ini

Kesepakatan Baleg DPR

Pimpinan rapat panja, Achmad Baidowi (Awiek) mengatakan, draf tersebut tetap mengacu dari putusan MK. Menurutnya, putusan MK itu membuka peluang partai tanpa kursi DPRD untuk mengusung cakada.

"Ini sebenarnya kan mengadopsi putusan MK yang mengakomodir partai nonparlemen bisa mencalonkan kepala daerah. Jadi sudah bisa mendaftarkan juga ke KPU, kan sebelumnya nggak bisa, setuju ya?" ujar Awiek.

Peserta rapat, termasuk pemerintah dan DPD, setuju. "Disetujui Panja 21 Agustus 2024, usulan DPR," demikian tertulis dan ditayangkan di layar ruang rapat.

Simak selengkapnya di halaman berikutnya...

Dalam konsep trias politica Indonesia, wewenang dari ketiga unsur kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) telah ditentukan secara konstitusional, serta dijamin dalam menjalankan fungsi checks and balances sesuai dengan porsi masing-masing. Hal ini merupakan semangat reformasi, yang salah satu tujuannya menghapuskan kekuasaan absolut dalam penyelenggaraan negara. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pengawal dan penafsir konstitusi menjalankan fungsi checks and balances melalui empat wewenang dan satu kewajiban, yang salah satunya menguji konstitusionalitas dari suatu undang-undang (UU) yang dibentuk dan ditetapkan oleh DPR bersama Presiden.Menjelang tahap pendaftaran pasangan calon kepala daerah usulan partai politik, dinamika kontestasi politik semakin memanas. Bermuara dari putusan MK No. 60/ 2024 dan No. 70/ 2024 yang memberikan angin segar demokrasi atas isu-isu hangat belakangan ini yaitu isu syarat usia calon kepala daerah dan isu kotak kosong akibat dari monopoli partai politik. Tetapi, belum genap sehari, Badan Legislasi (Baleg) DPR segera menyelenggarakan pembahasan perubahan UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang pada akhirnya disimpulkan bertujuan untuk menjegal putusan MK mengenai syarat usia calon dan ambang batas pencalonan kepala daerah oleh partai politik. Meskipun masih dalam status menunggu proses final, apakah nantinya rancangan perubahan tersebut akan disepakati dan disahkan menjadi UU atau tidak.Uji Konstitusionalitas vs Uji HierarkisitasPenting dicatat bahwa Putusan MK No. 70/ 2024 sama sekali tidak mengubah norma Pasal 7 UU Pilkada "mengenai syarat usia calon", melainkan sekadar mempertegas kembali bahwa norma pasal tersebut "sudah jelas, terang-benderang, bak basuluh matohari, cetho welo-welo" yaitu dihitung ketika proses pencalonan, sehingga tidak dapat dan tidak perlu diberikan tafsir lain. Selain itu, MK juga menegaskan kepada KPU bahwa titik atau batas untuk menentukan usia minimum calon dilakukan pada proses pencalonan, yang bermuara pada penetapan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Bilamana penyelenggara pemilu tidak menerapkannya, calon kepala daerah yang tidak memenuhi syarat dan kondisi tersebut berpotensi dinyatakan tidak sah oleh MK selaku pemegang kekuasaan kehakiman yang berwenang menyelesaikan sengketa hasil pemilihan. Artinya, jika ditarik waktu mundur hal ini bertalian erat dengan eksistensi dari Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 23/ 2023 yang menganulir norma peraturan KPU tentang syarat usia calon kepala daerah, di mana awalnya penghitungan usia dilakukan pada saat pencalonan kemudian diubah menjadi "dihitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih."Meskipun demikian, Baleg DPR dalam pembahasan perubahan UU Pilkada tetap memutuskan untuk menggunakan Putusan MA No. 23/ 2023 tersebut sebagai rujukan untuk mengubah norma Pasal 7 UU Pilkada. Sebagai alasan pembenar, dalam rapat Baleg DPR tersebut dikatakan, karena Putusan MK tidak menganulir Putusan MA secara eksplisit. Hal ini sedikit tidak relevan, di mana diketahui bersama bahwa wewenang MK adalah menguji UU terhadap UUD, bukan menguji Putusan MA yang setara dengan peraturan perundang-undangan di bawah UU. Kompetensi MA adalah pengujian hierarkisitas terhadap Peraturan Perundang-undangan di bawah UU, sehingga Putusan MA tersebut setara dengan/menggantikan norma regulasi yang diujinya (dalam hal ini Peraturan Komisi Pemilihan Umum/KPU). Apakah ini artinya DPR merujuk kepada regulasi yang lebih rendah dalam membentuk UU? Selain itu apakah ini nantinya tidak menjadi anomali terhadap praktik yang telah dijalankan selama ini dan jika dibandingkan dengan norma UU Pemilu (UU 7/2017)?Terhadap isu kotak kosong dan monopoli partai politik yang sedang ramai diberbagai daerah, MK juga memberikan jawaban melalui putusannya No. 60/ 2024. MK mengubah persentase ambang batas pencalonan oleh partai politik dan memberikan ruang kepada partai politik non DPRD untuk mengusung calon kepala daerah. Menurut MK, persentase ambang batas pencalonan melalui partai partai politik harus diselaraskan dengan syarat persentase dukungan calon perseorangan guna mewujudkan pemilihan kepala daerah yang demokratis sebagaimana amanat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Selanjutnya MK memutuskan bahwa persentase ambang batas pencalonan kepala daerah oleh partai politik ditentukan berdasarkan rasio jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT). Tetapi Pasal 40 ayat (1) yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan telah diubah melalui putusan MK kembali dihidupkan melalui Keputusan Panitia Kerja Baleg DPR dan sekaligus menambahkan ayat (2) tentang ketentuan pengusungan pasangan calon kepala daerah oleh partai politik non DPRD. Tanpa diketahui publik bagaimana tafsir konstitusionalitas dan partisipatif yang dilakukan oleh anggota Baleg DPR dalam rapat yang berlangsung hanya dalam waktu kurang dari satu hari tersebut, untuk menghidupkan kembali norma pasal yang telah dinyatakan MK inkonstitusional bersyarat.

Objektivitas DPR?Hal ini telah menambah deretan peristiwa kenegaraan yang menggemparkan bahkan berdampak kepada banyaknya unggahan slogan "peringatan darurat" di media sosial. Hal ini juga menjadi satu rangkaian dengan peristiwa kontroversial yang terjadi belakangan ini, mulai dari putusan MK No. 90/ 2023 mengenai syarat usia calon presiden dan wakil presiden, kemudian putusan MA No. 23/2023 mengenai syarat usia calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.Selain itu, rapat kilat DPR pasca putusan MK ini merupakan hal baru, yang sekaligus pada awalnya berdalil "ingin mengakomodir putusan MK", walaupun faktanya adalah "menjegal putusan MK". Perlakuan ini berbeda ketika peristiwa kontroversial putusan MK No. 90/ 2023 dan putusan MA No. 23/2023 dibacakan. Apakah karena menguntungkan bagi pihak tertentu? Seolah-olah ini adalah wujud dari kartelisasi politik yang telah dibangun.Dikhawatirkan ke depan kekuasaan saling jegal ini akan berlanjut, yang berpotensi saling adu kekuatan dan kewenangan masing-masing. Dalam kasus ini misalnya, DPR menjegal putusan MK dengan mengubah UU, begitu pula nantinya MK menjegal perubahan tersebut melalui uji konstitusionalitas, atau bahkan menjegal pasangan calon terpilih melalui putusan perselisihan hasil pemilihan sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangannya dalam putusan MK No. 70/ 2024. Hal ini tentu tidak sesuai dengan nilai-nilai checks and balances dalam konsep trias politica di Indonesia.Christo Sumurung Tua Sagala dosen dan peneliti Pusat Kajian Hukum Kritis dan Demokrasi Fakultas Hukum Universitas Jember

Lihat Video: MK Terima Audiensi Massa Tolak Revisi UU Pilkada

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

[Gambas:Video 20detik]

Komisi II DPR segera menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan KPU dan Bawaslu untuk membahas putusan MK soal syarat pencalonan Pilkada pada Senin (26/8) pekan depan.

Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia mengatakan rapat nantinya akan sekaligus membahas soal tiga Peraturan KPU dan dua Peraturan Bawaslu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ya memang sudah kita jadwalkan hari Senin, tanggal 26 besok itu akan ada RDP yang memang akan membahas tiga rancangan PKPU dan dua rancangan Perbawaslu," kata Doli di Munas Golkar, JCC, Selasa (20/8).

Rapat, kata Doli, nantinya akan didahului dengan konsinyering yang akan digelar dua hari sebelumnya pada Sabtu (24/8). Jika merujuk tata peraturan perundangan-undangan, putusan MK terakhir kata dia mestinya bisa segera dituangkan di PKPU.

"Mungkin hari Sabtu kami akan konsinyering dulu. Nah bahan ini nanti akan kami bahas di konsinyering di hari Sabtu. Mudah-mudahan di hari Senin nanti akan ada ya putusan," kata Doli.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu mengakui putusan MK terakhir yang menghapus syarat 20 persen untuk pencalonan kepala daerah akan mengubah konstelasi pilkada di beberapa daerah.

Namun, Doli tak dapat memprediksi imbasnya pada dinamika politik. Pasalnya, sisa pendaftaran kepala daerah hanya terisa tujuh hari pada 27 Agustus.

"Tentu ini akan mengubah balik dari perspektif politik akan merubah konstalasi politik. Tapi persoalannya apakah dalam sisa tujuh hari ini, ini akan baik atau tidak gitu ya," katanya.

Doli mengaku telah berkoordinasi langsung dengan KPU soal itu. Menurut Doli, pihaknya masih akan mempelajari putusan MK.

"Nah tadi saya udah langsung koordinasi dengan Ketua KPU, Ketua KPU juga ada acara di sebelah langsung pulang ke kantor. Kumpul dengan kawan-kawannya sesama komisioner dan saya lagi nunggu putusan lengkapnya," katanya.

MK pada hari ini mengabulkan gugatan perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora. Dalam putusannya, hakim konstitusi menilai Pasal 40 Ayat (3) UU Pilkada inkonstitusional.

Pasal ini mensyaratkan pasangan calon kepala daerah harus diusung partai politik atau gabungan partai dengan perolehan 25 persen suara atau 20 persen kursi DPRD, ketentuan ini hanya berlaku bagi partai yang memperoleh kursi di DPRD.

Sementara itu, partai yang tidak memperoleh kursi DPRD, tetap bisa mengusung paslon selama memenuhi syarat persentase yang dihitung dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT). Aturan itu tertuang dalam Pasal 40 Ayat (1) yang diubah MK.

Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menggelar rapat panitia kerja (Panja) terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah syarat bagi partai politik untuk mengusung calon kepala daerah (cakada). Hasilnya, Baleg DPR menyepakati putusan MK itu hanya berlaku untuk partai non-parlemen alias parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD.

Dilansir dari detikNews, rapat digelar di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024). Baleg DPR turut membahas revisi Undang-Undang Pilkada.

Dalam rapat tersebut, Panja membahas usulan perubahan substansi Pasal 40 UU Pilkada setelah putusan MK. Berikut ini draf yang ditampilkan dan dibacakan dalam rapat dan kemudian disetujui:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketentuan pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

(1) Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang memiliki kursi di DPRD dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan

(2) Partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD Provinsi dapat mendaftarkan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur dengan ketentuan:

a. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di provinsi tersebut.

b. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai 6.000.000 (enam juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% di provinsi tersebut

c. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% di provinsi tersebut

d. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% di provinsi tersebut

(3) Partai Politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD kabupaten/kota dapat mendaftarkan calon Bupati dan calon Wakil Bupati atau calon Walikota dan calon Wakil Walikota dengan ketentuan:

a. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10% di kabupaten/kota tersebut

b. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% di kabupaten/kota tersebut

c. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% di kabupaten/kota tersebut

d. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% di kabupaten/kota tersebut.

Syarat Parpol Usung Cakada Tetap 20%

Di satu sisi, anggota Baleg Fraksi PAN, Yandri Susanto mengatakan, parpol yang memiliki kursi di parlemen tetap akan mengacu dengan jumlah kursi 20% jika akan mengusung pasangan calon di Pilkada. Yandri mengatakan syarat dukungan dari partai pemilik kursi DPRD tidak bisa dicampur dengan partai yang tak punya kursi DPRD.

"Yang punya kursi itu tetap mengacu 20%, nggak bisa di-mix, kacau nanti kalau sebagian pakai kursi sebagian pakai suara, itu nggak bisa, nanti ke KPU-nya gimana," kata Yandri di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (21/8).

"Ini paslon, satu pakai kursi, sisanya ditambah suara sah, susah nanti, mengesahkan paslon susah nanti, ini sudah benar sekali, mengatur sedemikian rupa. Jadi paslon clear siapa yang usung, jadi tidak ada yang kita lawan di putusan MK," sambungnya.

Dia menegaskan, pihaknya berupaya mengadopsi putusan MK mengenai syarat parpol dalam mengusung calon di Pilkada. Yandri mengatakan, parpol nonparlemen dapat mengusung pasangan calon merupakan lompatan baru.

"Artinya kalau non-seat dulu hanya mendukung tidak bisa mengusung, ini ada lompatan besar dari MK, boleh mencalonkan kalau memenuhi syarat persentase, kalau partai-partai non-seat berkumpul, mencalonkan boleh, dulu tidak boleh. Jadi ini lompatan yang besar untuk demokrasi kita," ujar Yandri.

Sebelumnya diberitakan, MK mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora terhadap UU Pilkada. MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD.

Putusan terhadap perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora itu dibacakan dalam sidang di gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (20/8). Dalam pertimbangannya, MK menyatakan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada inkonstitusional.

Baleg DPR menggelar rapat Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pilkada. Kesepakatan rapat ini menghasilkan isi pasal soal syarat usia dan dukungan partai politik (parpol) bagi calon kepala daerah yang berbeda dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Putusan MK terkait syarat usia calon kepala daerah dan dukungan partai bagi calon kepala daerah dibacakan dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (20/8/2024). Rapat Baleg DPR digelar di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Rabu (21/8/2024).